Oleh : K.H. Abdullah Gymnastiar
"Jika Allah
menolong kamu, maka tak adalah orang yang dapat mengalahkan
kamu..."
(Q. S Ali Imran (3) : 160)
Bagaimana kita
memahami pengertian hidup sukses? Dari mana harus memulainya ketika kita ingin
segera diperjuangkan? Tampaknya tidak terlalu salah bila ada orang yang telah
berhasil menempuh jenjang pendidikan tinggi, bahkan lulusan luar negeri, lalu
menganggap dirinya orang sukses. Mungkin juga seseorang yang gagal dalam
menempuh jalur pendidikan formal belasan tahun lalu, tetapi saat ini berani
menepuk dada karena yakin bahwa dirinya telah mencapai sukses. Mengapa demikian?
Karena, ia telah memilih dunia wirausaha, lalu berusaha keras tanpa mengenal
lelah, sehingga mewujudlah segala buah jerih payahnya itu dalam belasan
perusahaan besar yang menguntungkan.
Seorang ayah dihari
tuanya tersenyum puas karena telah berhasil mengayuh bahtera rumah tangga yang
tentram dan bahagia, sementara anak anaknya telah ia antar ke gerbang cakrawala
keberhasilan hidup yang mandiri. Seorang kiai atau mubaligh juga berusaha
mensyukuri kesuksesan hidupnya ketika jutaan umat telah menjadi jamaahnya yang
setia dan telah menjadikannya sebagai panutan, sementara pesantrennya selalu
dipenuh sesaki ribuan santri. Pendek kata, adalah hak setiap orang untuk
menentukan sendiri dari sudut pandang mana ia melihat kesuksesan hidup. Akan
tetapi, dari sudut pandang manakah seyogyanya seorang muslim dapat menilik
dirinya sebagai orang yang telah meraih hidup sukses dalam urusan
dunianya?
Membangun
Fondasi
Kalau kita hendak
membangun rumah, maka yang perlu terlebih dahulu dibuat dan diperkokoh adalah
fondasinya. Karena, fondasi yang tidak kuat sudah dapat dipastikan akan membuat
bangunan cepat ambruk kendati dinding dan atapnya dibuat sekuat dan sebagus
apapun. Sering terjadi menimpa sebuah perusahaan, misalnya yang asalnya memiliki
kinerja yang baik, sehingga maju pesat, tetapi ternyata ditengah jalan rontok.
Padahal, perusahaan tersebut tinggal satu dua langkah lagi menjelang sukses.
Mengapa bisa demikian? ternyata faktor penyebabnya adalah karena didalamnya
merajalela ketidakjujuran, penipuan, intrik dan aneka kezhaliman lainnya.
Tak jarang pula
terjadi sebuah keluarga tampak berhasil membina rumah tangga dan berkecukupan
dalam hal materi. Sang suami sukses meniti karir dikantornya, sang isteri pandai
bergaul ditengah masyarakat, sementara anak-anaknya pun berhasil menempuh
jenjang studi hingga ke perguruan tinggi, bahkan yang sudah bekerjapun beroleh
posisi yang bagus. Namun apa yang terjadi kemudian?
Suatu ketika hancurlah
keutuhan rumah tangganya itu karena beberapa faktor yang mungkin mental mereka
tidak sempat dipersiapkan sejak sebelumnya untuk menghadapinya. Suami menjadi
lupa diri karena harta, gelar, pangkat dan kedudukannya, sehingga tergelincir
mengabaikan kesetiaannya kepada keluarga. Isteripun menjadi lupa akan posisinya
sendiri, terjebak dalam prasangka, mudah iri terhadap sesamanya dan bahkan
menjadi pendorong suami dalam berbagai perilaku licik dan curang. Anak-anakpun
tidak lagi menemukan ketenangan karena sehari-hari menonton keteladanan yang
buruk dan menyantap harta yang tidak berkah.
Lalu apa yang harus
kita lakukan untuk merintis sesuatu secara baik? Alangkah indah dan mengesankan
kalau kita meyakini satu hal, bahwa tiada kesuksesan yang sesungguhnya, kecuali
kalau Allah Azza wa Jalla menolong segala urusan kita. Dengan kata lain apabila
kita merindukan dapat meraih tangga kesuksesan, maka segala aspek yang berkaitan
dengan dimensi sukses itu sendiri harus disandarkan pada satu prinsip, yakni
sukses dengan dan karena pertolongan-Nya. Inilah yang dimaksud dengan fondasi
yang tidak bisa tidak harus diperkokoh sebelum kita membangun dan menegakkan
mernara gading kesuksesan.
Sunnatullah dan
Inayatullah
Terjadinya sesoang
bisa mencapai sukses atau terhindar dari sesuatu yang tidak diharapkannya,
ternyata amat bergantung pada dua hal yakni sunnatullah dan inayatullah.
Sunatullah artinya sunnah-sunnah Allah yang mewujud berupa hukum alam yang
terjadinya menghendaki proses sebab akibat, sehingga membuka peluang bagi
perekayasaan oleh perbuatan manusia. Seorang mahasiswa ingin menyelesaikan
studinya tepat waktu dan dengan predikat memuaskan. Keinginan itu bisa tercapai
apabila ia bertekad untuk bersungguh-sungguh dalam belajarnya, mempersiapkan
fisik dan pikirannya dengan sebaik-baiknya, lalu meningkatkan kuantitas dan
kualitas belajarnya sedemikian rupa, sehingga melebihi kadar dan cara belajar
yang dilakukan rekan-rekannya. Dalam konteks sunnatullah, sangat mungkin ia bisa
meraih apa yang dicita-citakannya itu.
Akan tetapi, ada bis yang terjatuh ke
jurang dan menewaskan seluruh penumpangnya, tetapi seorang bayi selamat tanpa
sedikitpun terluka. Seorang anak kecil yang terjatuh dari gedung lantai ketujuh
ternyata tidak apa-apa, padahal secara logika terjatuh dari lantai dua saja ia
bisa tewas. Sebaliknya, mahasiswa yang telah bersungguh-sungguh berikhtiar tadi,
bisa saja gagal total hanya karena Allah menakdirkan ia sakit parah menjelang
masa ujian akhir studinya, misalnya. Segala yang mustahil menurut akal manusia
sama sekali tidak ada yang mustahil bila inayatullah atau pertolongan Allah
telah turun.
Demikian pula kalau
kita berbisnis hanya mengandalkan ikhtiar akal dan kemampuan saja, maka sangat
mungkin akan beroleh sukses karena toh telah menetapi prasyarat sunnatullah.
Akan tetapi, bukankah rencana manusia tidak mesti selalu sama dengan rencana
Allah. Dan adakah manusia yang mengetahui persis apa yang menjadi rencana Nya
atas manusia?
Boleh saja kita berjuang habis-habisan karena dengan begitu orang
kafirpun toh beroleh kesuksesan. Akan tetapi, kalau ternyata Dia menghendaki
lain lantas kita mau apa? mau kecewa? kecewa sama sekali tidak mengubah apapun.
Lagipula, kecewa yang timbul dihati tiada lain karena kita amat menginginkan
rencana Allah itu selalu sama dengan rencana kita. Padahal Dialah penentu segala
kejadian karena hanya Dia yang Maha Mengetahui hikmah dibalik segala
kejadian.
Rekayasa
Diri
Apa kuncinya?
Kuncinya adalah kalau kita menginginkan hidup sukses di dunia, maka janganlah
hanya sibuk merekayasa diri dan keadaan dalam rangka ikhtiar dhahir semata,
tetapi juga rekayasalah diri kita supaya menjadi orang yang layak ditolong oleh
Allah. Ikhtiar dhahir akan menghadapkan kita pada dua pilihan, yakni tercapainya
apa yang kita dambakan - karena faktor sunnatullah tadi - namun juga tidak
mustahil akan berujung pada kegagalan kalau Allah menghendaki lain. Lain
halnya kalau ikhtiar dhahir itu diseiringkan dengan ikhtiar bathin.
Mengawalinya dengan
dasar niat yang benar dan ikhlas semata mata demi ibadah kepada Allah.
Berikhtiar dengan cara yang benar, kesungguhan yang tinggi, ilmu yang tepat
sesuai yang diperlukan, jujur, lurus, tidak suka menganiaya orang lain dan tidak
mudah berputus asa. Senantiasa menggantungkan harap hanya kepada Nya semata,
seraya menepis sama sekali dari berharap kepada makhluk. Memohon dengan segenap
hati kepada Nya agar bisa sekiranya apa-apa yang tengah diikhtiarkan itu bisa
membawa maslahat bagi dirinya mapun bagi orang lain, kiranya Dia berkenan
menolong memudahkan segala urusan kita. Dan tidak lupa menyerahkan sepenuhnya
segala hasil akhir kepada Dia Dzat Maha Penentu segala kejadian. Bila Allah
sudah menolong, maka siapa yang bisa menghalangi pertolongan-Nya? Walaupun
bergabung jin dan manusia untuk menghalangi pertolongan yang diturunkan Allah
atas seorang hamba Nya sekali-kali tidak akan pernah terhalang karena Dia memang
berkewajiban menolong hamba-hambaNya yang beriman.
"Jika Allah
menolong kamu, maka tak adalah orang yang dapat mengalahkan kamu. Jika Allah
membiarkan kamu (tidak memberikan pertolongan) maka siapakah gerangan yang
dapat menolong kamu (selain) dari Allah sesudah itu? Karena itu hendaklah kepada
Allah saja orang-orang mukmin bertawakal" (QS Ali Imran (3) :
160).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar